Kamis, 08 November 2012


PERGINYA SAHABATKU        

 Hawa dingin mengalir semilir, hening
          Ilalang ilalang di padang terus pergoyang mengikuti aliran angin, mengangguk angguk menikmati daya udara, langit senja sore semburat mewarnai langit, burung burung terbang melayang menjahiku, turun menukik ke semak. Padang ini, di sebuah sore yang kelabu, di halaman proyek bangunan yang berhenti di tengah jalan dan akhirnya berubah jadi sarang ilalang dan dendalion. Menjadi ekosistem sempurna untuk lumut lumut daun.
         Tembok gedung masih tetap kokoh, walaupun telah berdiri lebih dari tujuh tahun lalu, warnanya telah kusam. Disana sini sarang laba laba menggantung. Gedung ini menjadi saksi bisu ceritaku selama ini, menjadi sahabat hari hariku ketika berteduh disaat hujan, menjadi teman bermain ketika di tinggal bapak dan ibu bekerja, dan menjadi awal kisahku bersama Lutfi dan Dewi, dua sahabat kecil yang tak pernah tergantikan.
           Sayangnya kini aku tak tahu lagi dimana Dewi berada, sudah dua tahun ini tak lagi ada kabar. Sedih rasanya di tinggal seorang sahabat, terlebih kami berpisah dalam keadaan saling membenci. Ah, yakinkah aku kami memang saling membenci?, bukankah kami bertiga sudah jadi sebuah puzzle yang tak terpisahkan, tanpa satu diaantaranya kami tak akan pernah sempurna.
            Kutatap Lutfi, caranya duduk masih sama seperti dulu, senyumnya juga juga semanis dulu, atau mungkin lebih manis, bukankah dia telah berkembang dari seorang gadis ingusan menjadi remaja bermekaran? Dan aku, aku tak pernah tau apa yang terjadi padaku, mungkin perubahan padaku cuma dari seorang anak tukang becak menjadi seorang loper koran. Atau seorang gelandangan kecil menjadi anak sma impress yang tersenggal untuk bisa tetap sekolah.
           “Wan, kamu masih ingat tidak saat kita bertemu dulu?” ujar Lutfi memecah keheningan
           “Ya iyalah Fi, masak aku lupa pada seorang Lutfi yang ngambek lalu lari ke proyek ini?” jawabku sembari meliriknya
          “Ah, udah dong. Kamu selalu aja nyebelin. Dari dulu. Eh, dulu itu kok bisa sih kamu sama Dewi ngamen?” tayanya lagi
           “Asyik kan, bisa beli mainan sendiri?” jawabku berkelekar
           Kami kembali diam.
           Fikiranku kembali melayang mengarungi medan waktu menuju masa masa  delapan tahu lalu. Aku dan Dewi lebih dahulu saling mengenal, Dewi anak gang 12 sedang aku gang 13. Saat di tinggal bapak dan ibu bekerja, aku sering datang ke proyek ini, sekedar melihat lihat mesin mesin besar penggiling semen. Tiap kali aku kemari selalu ada seorang anak lain yang sepertinya sama denganku, dan akhirnya kami bisa berkenalan.
            “Hei, anak mana kamu?” tanyaku
           “Anak kampung baru, kamu” jawabnya
           “Lho aku juga anak kampung baru. Namamu?” tanyanku lagi
           “Em, Dewi lestari. Kamu siapa?”
           “Awan. Awan tinggi” jawabku
           Medengar namaku Dewi tampak kikuk, sesekali dia mencuri pandang ke langit, mungkin pikirnya namaku aneh, sudah Awan tinggi lagi. Aku juga tak tahu asal mulanya bapak memberi nama aku Awan tinggi, kenapa bukan darma Awan, atau Awan santosa, atau Awan cumollonimbus?. Ah, persetan soal namaku , apalah arti sebuah nama.
           Setelah berkenalan kami tetap berdiri mematung, mesin mesin produksi terus berputar putar mengaduk semen dan pasir menjadi satu. Suara las menusuk telinga, truk truk yang bermuatan berat berarak arakan keluar masuk proyek.

mi2n_siti@yahoo.com

 
          “Hay nak, jangan di situ. Mau di buat truk lewat” teriak seseorang berhelem putih dari bawah pohon.
Akhirnya kami menyingkir pulang, sejak itu aku sering bermain dengan Dewi ke proyek, apa lagi setelah proyek  berhenti di tengah jalan dan tak ada lagi yang menggunakannya,menurut rumor, dana pembanguan proyek di korupsi pejabat daerah, proyek pembanguan rusun iipun berhenti di tengah jalan, lalu tumbuh rumput rumput liar, dan akhirnya lahan proyek ini jadi area bermain paling menyenangkan sedunia.
Sebenarnya kami ingin sekali bisa bermain ular tangga dan mainan lain, namun bapak dan ibu tak pernah mau membelikan, begitu pula bapak dan ibu Dewi. Padahal hamper semua temanku punya mainan yang bagus bagus, aku sedih sekali.
           Suatu hari kami membuat rencana ekstrim.
          “Dew, ngamen yuk” ajakku
          “Hah ngamen, ngawur. Kamu pikir boleh apa sama bapak dan ibu?” ujarnya berbalik tanya padaku
          “Maka dari itu, kita sembunyi sembunyi, nanti kalau kita punya uangkan bisa beli ular tangga dan monopoli. Kamu nggak kepingin?”
           Dia terdiam cukup lama, akhirnya dia menjawab
          “Mau sih, kamu yakin mau ngamen?” tanyanya ragu
          “Ya iyalah, nanti kalau sudah kumpul buanyak kita bisa beli rumah, terus aku mau beli mobil tiga, beli kulkas, beli robot, sepeda”
          “Stop. Gantian dong. Aku mau beli berbie, boneka yang banyak terus baju yang buanyak” ujarnya menyelaku.
           Dua hari setelahnya dimulailah petualanganku untuk mengamen. Sebenarknya aku malu sekali, namun bayang banyang robot menjadi penyemangat untuk terus maju,pokoknya kau harus ngamen! Nanti kalau sudah besar aku mau jadi rajanya pengamen, terus aku akan beli robot remote control segudang dan kubagikan pada teman teman.
‘bug’
         Aku terperanjat kaget. Lamunanku berhenti total, tiba tiba saja Lutfi memukul bahuku.
         “Apa sih Fi, enak enak nglamun di bangunin” ujarku sebal
         “Abis, kamu senyum senyum sendiri, dari pada kamu kesambet mending aku bangunin” jawabnya di iringi gelak tawa
         “Yah, padahal tadi aku asik nglamuin masa masa ngamen. Dasar kamu Fi” ujarku sembari mencubit hidungnya
         “Oh, waktu ngamen itu, tampangmu konyol banget tau. Terus bawa bungkus permen sambil nyanyi nyanyi, padahal suaramu jelek banget. Terus Dewi dengan tampang innocent nya mengulurkan bungkus permen terus nyelonong pergi” kata Lutfi lagi
          Oh, mungkin dia benar. Setelah sekitar sebulan lebih beberapa hari menempuh petualangan sebagai pengamen cilik,  aku mengamen di toko ayah Lutfi. Maklum, Lutfi berasal dari keluarga lumayan berada, wajar jika dia menertawakan polah tingkahku dan Dewi saat itu. Aku ingat Lutfi tergelak di balik meja kasir, dan aku malunya minta ampun. Namun berselang seminggu aku dan Dewi menemukan Lutfi sedang sesuggukan menangis di proyek, sejak itu kami menjadi tiga serangkai.
           “Fi, kamu tau nggak. Waktu aku dan Dewi bertemu kamu di proyek, kamu kok nangis kenapa sih?”tanyaku
           “Ah, dari dulu pertanyaan it terus. Nggak ada yang lain apa?” jawabnya
           “Ya, aku penasaran aja. Kan ayah kamu buka toko, lumayan laris lagi kok bisa kamu bermain di proyek sendirian lagi, kok nggak ke timezone aja” jelasku panjang lebar
Lutfi tersenyum kecil sambil menatapku dalam. Rasanya bulu kudukku tegang dan jantungku terpompa lebih kuat. Fi, kenapa sih tatapanmu selalu membuatku begini?
          “Mungkin selama tujuh tahun kita kenal aku belum pernah jawab. Em, Wan. Kamu beruntung bisa jadi anak laki laki dari keluarga yang walaupun gak bisa membelikanmu robote remote control namaun bisa memberikanmu rasa kasih saying, sepenuhnya. Tapi aku” kata kata lufi berhenti di tengah jalan, suaranya di sambung oleh alunan isak tangis.
         Aku mendekati Lutfi, pelan pelan ku coba merengkuhnya, sekedar meringankan beban yang tersandar dihati. Lutfi masih terus terisak, aku jadi bingung harus bagaimana. Terlalu banyak air mata yang mengalir di sekitarku, hingga aku merasa terlalu berhati batu untuk melihatnya lagi. Terlebih yang menagis adalah Lutfi, teman kecilku yang diam diam aku sukai.
         “Fi, kalau memang kamu tidak bisa cerita. Nggak apa apa. Kamu nggak harus cerita kok” kataku menghiburnya, namun sebenarnya dengan keadaannya yang tiba tiba menagis begini akua tambah bingung
         “Awan, aku sedih. Aku benci pada diriku sendiri. Aku marah” kata Lutfi terputus putus
         “Maksudmu bagaimana?”tanyaku
         “Tujuh taun lalu, kamu ingat saat aku pertama kali aku ke gedung proyek ini?”tanyanya
         “Tentu bagaimaa aku aku lupa. Kamu lucu sekali saat itu” ku coba melucu, namun ternyata dia justru marah
         “Saat itu orang tuaku bercerai, saat itu aku masih sepuluh tahun dan tak tau apapun, namun hingga kini sampai umurku tujuh belas pun aku masih belum bisa menerima. Berat rasanya di tinggal ayah dan ibu begtu saja. Kalau boleh, aku mau saja menukar mainanku di rumah dengan keluargamu. Sayangnya tak mungkin. Aku benci. Pada diriku sendiri dan padamu. Kamu membuat Dewi pergi tak tau entah kemana. Padahal aku sudah senang memiliki teman bermain boneka, ada teman yang bisa menghiburku. Aku benci!” uangkap Lutfi penuh emosi
         “Lutfi …” desisku pelan
         Aku tak mengira, bahwa 5 tahun ini Lutfi membenciku. Dia menganggap aku membuat Dewi pergi. Tiba tiba saka aku merasa runtuh. Orang yang jadi sahabat ku membenciku.
        “Awan, andai dahulu itu kamu nggak malu untuk bermain boneka, dan gak maksain buat mainan robot Cuma karena kamu cowok, pasti kita nggak akan kehilangan dia” kata Lutfi terisak
        “Lutfi, maafin aku. Tolong” aku tak bisa berkata apa apa lagi.
        Kami Cuma terdiam
        Ilalang ilalang di halaman proyek terus bergerak mengikuti aliran udara, meleok leok seperti nafas lilin terterpa angin. Semburat senja semakin hilang di kejahuan, langit diatas proyek makin kelabu. Mendung mendung hitam dating mengumpul, bersiap menumpahkan butirnya.

mi2n_siti@yahoo.com
 
          Fikiranku kembai melayang menyelami masa masa itu, lima tahun lalu, kami bertiga masih kelas lima SD. Kami sama sama tak mengertinya tentang hidup ini, yang kami fikirkan adalah kebahagiaan saja, mungkin memang kami masih terlalu egois.
          “Fi, ayo main berbie.” Ajak Dewi
“Oke, aku jadi rapunzel kan rambutku panjang terus kamu jadi ibu tiri. Terus Awan jadi pangerannya. Gimana?”Tanya Lutfi
“Ah, nggak mau. Nggak asik main rapunzel. Aku mau maen robot. Kalian nggak asik ah” jawab Awan
“Ayo dong Wan. Kan asik nanti kamu bisa jadi pangeran” kata Dewi
“Nggak mau, aku nggak mau. Aku ini laki laki, aku nggak mau mainan cewek” teriak Awan
“Awan, kamu gaya banget sih. Main rapunzel aja nggak mau” sentak Lutfi
“Ah, kalian menyebalkan” sentak Awan pula sembari beranjak pergi meninggalkan Dewi dan Lutfi
“Wan, kamu gitu aja marah sih. Wan” panggil Dewi
Awan yang di panggil tetap tak mengindahkan panggilan Dewi, Awan justru berlari meninggalkan mereka. Dewi hanya bisa menagis sedang Lutfi tergugu dalam emosi.
Awan bangun dari lamunannya, suara isak Lutfi kembali terdengar.
 “Wan, aku benci kamu” desis Lutfi
“Ah, maksutmu Fi?” sudah membuyarkan lamunanku, berkata tak jelas pula
“kenapa kamu dulu marah sama Dewi?, sekarang Dewi pergi. Aku kangen dengannya!” ujarnya penuh emosi
“Maksudmu kamu menyalahkanku?” tanyaku makin tak mengerti
“Ya, kamu salah Wan. Kamu salah karena mudah patah hati, ceklekan. Andai kamu tidak egois, pasti Dewi masih disini” jawab Lutfi
Aku teringat kembali pada cerita Lutfi
Setelah aku pergi karena permainan rapunzel itu, Dewi menangis sesunggukan dan berlari pulang, esok harinya Dewi tak masuk sekolah, kami kira Dewi sakit akhirnya kami mengunjunginya. Ternyata rumah Dewi telah kosong, bahkan hingga dua bulan kemudian rumah itu di tempati keluarga baru, tetangga Dewi tak ada yang tahu kemana keluarga Dewi pergi. Aku sedih sekali, bagaimana mungkin aku yang tetangga Dewi sama sekali tak tahu kemana Dewi pergi, ah, anadai aku tahu tak ada lagi hari esok untuk kami bertiga bersama lagi, pasti aku tidak akan menyesal. Aku pasti akan memainkan perang pangeran.
Mengingat semua yang telah berlalu aku hanya bisa terdiam. Lutfi masih tetap terisak dalam dekapanku. Hasi semakin gelap, senja telah hilang, rintik rintik hujan mulai turun membasahi dedalion dendalion di halaman proyek. Suasana dingn menyelimuti heningnya bangunan proyek using ini.
Lutfi akhirnya berhenti menangis dan melepaskan diri dari dekapanku. Kami kembali terdiam panjang.
Lutfi menatapku dalam, lalu dia menunduk
“Awan, maafkan aku. Aku telah benci padamu, namun jangan salah sangka, aku tidak benar benar membencimu. Justru, maafkan aku. Persahabatan kita mungkin akan cacat. Awan..” Lutfi kembali diam
“Fi, aku yang terlalu banyak salah padamu. Maafkan aku. Fi aku, aku . .“ ucapku terbata bata
Ah, bagaimana caranya aku harus bilang, Lutfi telah jadi sahabatku tujuh tahun ini, dan dia membenciku. Rasanya terlalu sulit untukku mengatakan padanya, aku takut persahabatanku harus jadi taruhan, lebih baik aku tetap dalam statis begini. Biar Cuma aku yang tahu, Lutfi, aku suka kamu.
“Awan, sudah sore. Ayo pulang. Aku takut ayah mencariku” ujar Lutfi memecah keheningan, aku tak tahu apa yang sebenarny inigin di ungkapkan. Namun Lutfi terlihat bergi sedih, seakan dia menyimpan sesuatu di fikirannya.
kami berlari beriringan di bawah hujan, tak lama menyebrangi padang ilalang akhirnya kami sampai juga di jalan raya. Umahku kea rah utara sedang Lutfi keselatan.
“Wan, maafkan aku” ucap Lutfi sembari tibap tiba memelukku
“Ada apa fi?” tanyaku
Lutfi melepaskan pelukannya dan berdiri tertunduk dihadapanku
“Wan, aku mungkin tidak akan bertemu dengan mu lagi. Aku akan pindak ke balik papan” ujar Lutfi pelan
“Maksudmu fi?, kamu serius?” tayaku tak percaya
“Wan, hari ini adala hari terakhirku di sini. Lihat gedung proyek, biarlah gedung itu jadi saksi perpisahan kita hari ini. Dan seterusnya” ucapnya terbata
“Kenapa begini fi?” tanyaku masih tidak bisa menerima keadaan
“Wan, ayah pindah ke kampung halaman. Ibu sudah menikah lagi. Sedang disini aku tak punya saudara. Mau dikata apa, aku harus pergi” ujar Lutfi pelan
“Fi, tapi…”aku tak sanggup melanjutkan kata kataku. Fi, kenapa kamu harus petrgi padahal aku terlanjur suka padamu?
“Wan, maafkan aku karena telah membuat noda cacat pada persahabatan kita. Maafkan aku. Sudah ya Wan, aku harus pergi. Pesawatku take off tiga jam lagi” ucapnya ei iringi senyum memaksa
“Lutfi, jangan. Aku nggak mau kehilangan kamu.” teriakku
Namun Lutfi terlanjur lari meninggalkanku, bahkan bayang banyang Lutfi telah ditelan belokan di depanku. Tuhan, mengapa setelah kamu memisahkan ku dengan Dewi, kau cabut juga Lutfi dari hidupku. Kenapa pula aku tak pernah sanggup mengejar dan mengantarnya pulang, walaupun itu untuk yang terakhir kali. Selemah inikah aku, bukankah aku seorang laki laki, apakah aku harus sebodoh ini, sepengecut ini?, bahkan untuk bilang bahwa aku suka pada Lutfi saja takut.
Lutfi, kenapa rintik hujan sore ini harus jadi catatan terakhir cerita kita?. Oh, tapi mungkin ini akan lebih baik, karena andai aku menagis, tak ada orang yang tau. Walaupun dada ini rasanya sesak. Lutfi, aku benci, kenapa aku harus merelakanmu pergi sebelum kamu tahu, aku suka padamu. Andai aku punya kesempatan untuk merubah alur cerita ini.  pasti aku tak akan menyesal.
Hujan terus turun, deras dan semakin deras. Motor motor semakin sepi melaju, gelap telah merubah semuanya, lampu lampu kerlap kerlip menyapu bayang bayang, membayangi aku yang telah kehilngan  dua sahabat  dan kehilangan seorang yang ku saying, tanpa aku pernah berani mengungkapkannya. Waktu terus melaju, adzan telah usai berkumandang, semua jadi senyap, meninggalkanku berdiri mematung sendiri.

 blitar, 8 november 2012
@copyright mi2n_siti@yahoo.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar