Sabtu, 29 Desember 2012

BALADA SMA

Aku harus meninggalkan cahaya
Berlari menjauh dari pisau pisau bedah
Menghindari sorot lampu mahaterang
Sebelum kau menyayat hatiku sebagai kelinci percobaan
Sebelum kau koyak aku dalam geram

Sebuah hari minggu yang benderang, di unjung jalanan desa missac .
Matahari masih menyinari angkasa dengan angkuhnya, padahal bulan desember telah datang,  aku terus berjalan cepat, mengapa rumahku masih beitu jauh sih. . , rasanya kaki ini telah remuk menelanjangi pelataran jalan. Aku berjalan menununduk, terpaan cahaya matahari membuat mataku silau, parahnya aku terlalu sensitive cahaya, satu satunya cara cuma menyipitkkan mata.
Beban berat di punggungku semakin terasa, tasku yang berisi penuh tumpukan buku pelajaran pergemerisik  menggesek jaket yang kukenakan. Tas tanganku yang berisi oleh oleh khas Jogjakarta ku ombang ambingkan untuk menyeimbangkan berat tas punggung. Ah, tak apalah, sebentar lagikan aku sampai rumah, rasanya rindu sekali pada ayah dan ibu.
Telah satu semester aku meninggalkan rumah untuk menempuh pendidikan tinggi, selama itu pula aku tak menjejakkan kaki di tanah kelairanku ini, tanah yang membawaku menjadi seorang gadis yang siap bertarung menghadapi kerasnya dunia. Tanah yang mengajari aku banyak hal tentang memahami makna hidup.
HP di saku bergetar, setelah sedikit kesulitan akhirnya hp dapat ku ambil juga. Pesan dari evan. Ku buka pesan.
Appa kabar :D
 Aku terseyum kecil
Setelah kutimbang timbang akhirnya kuputuskan untuk tidak membalas smsnya. Membalas sms dengan bawaan sebanyak ini sangat merepotkan.
Ah, akhirnya sampai rumah juga.
“Assalamualaikum” ucapku setengah berteriak
“Walaikumsalam, ya Alloh nak. Sampai rumah juga” ujar ibu sambil memelukku.
Rasanya rindu sekali pada pelukan ibu
Setelah beramah tamah aku masuk ke kamar. Kamar ini telah aku tingalkan satu semester. tak banyak yang berubah disana, letak buku buku juga tak banyak berubah. Namun kamarku tak terlapisi debu, pasti ibu selalu membersihkan kamar. Ku hempaskan tubuh ini ke tempat tidur, ah rasanya nyaman sekali, perjalanan 6 jam dari Jogjakarta benar benar membuat tulang tulangku serasa remuk. Ku alihkan pandanganku ke meja belajar. Buku buku dan barang barangku ketika SMA masih berjajar disana, kebanyakan novel novel teenlit yang sering ku beli dulu. Dan, oh gambar itu, sebuah gambar berpigora kayu yang mulai pudar warnanya.
Ku raih gambar itu, setelah kulepas pigora akhrinya aku dapat menemukan tulisan tulisan di belakangnya
Untuk, temanku, yang akan melupakan aku. Semoga kertas ini bisa membantu otakmu untuk mengingat aku ya. Plis, jangan pikun terus dong. Masa aku juga mau kamu lupain sih?
:D
Gambar ini dari evan, aku terima ketika kami kelulusan SMA dulu, sudah jadi kebiasaan sekolah kami untuk bertukar kado ketika kelulusan, sebenarnya ini untuk menggantikan budaya mencoret coret baju ketika kelulusan sih, tapi mungkin memang ini akan lebih berarti.
Aku teringat SMS dari Evan yang belum ku balas, setelah sedikit menggeledah tas, aku menemukannya juga.
Kurang baik nih. Kak, kangeen banget nih
:P
Anganku melayang mengingat masa masa SMA dulu. Masa yang mengenalkan aku pada mahluk yang alay berat ini. Sebenarnya dia cukup dewasa, namun dia akan mendadak konyol ketika di sekolah. Mungkin kalau tidak ada kekonyolanya masa SMAku akan garing. Ah dasar evan. Nyebelin, tapi ngangenin. LOL.
Aku mengenal evan ketika masuk SMA kelas dua. Bukan karena apa, Cuma karena kami sekelas. Awalnya memang tak ada dari diri evan yang istimewa untukku, posisinya sebagai anak kesayangan para guru dan statusnya sebagai siswa aktif membuatku semakin malas berteman dengannya. Ey, bukan malas sih, mungkin lebih sebagai sulit. Aku lebih menyukai orang yang pendiam dari pada anak yang ramah seperti evan, karena menurutku seorang yang ramah justru penipu, kebanyakan keramahan cuma basa basi. Sedang aku bukan orang yang tertarik denagn bsa basi. Jahat ya aku.
Namun seiring waktu berlalu aku jadi lebih lunak untuk mengenal evan. Untunglah bayanganku tak sepenuhnya terbukti, walau kebanyakan apa yang aku perkirakan benar adanya, apa boleh buat, dia sekelas denganku, masak aku mau jaga jarak sih?. Memasuki semester dua aku mulai dekat dengan evan, dan hingga kelulusan kami masih lumayan akrab. Tak cuma hingga lulusan, namun hingga aku kuliah inipun, kami masih sesekali berkomunikasi.
HPku bergetar lagi, ada sms masuk. Balasan dari evan
Aku jg nih, kapan pulang?
:D
Ku letakkan hp, ah evan. Aku kangen banget sama kamu,  andai kamu ada di sini pingin deh ngejitak kamu, aku teringat dulu, kebiasaan kami ketika masih di kelas tiga, tempat tongkrongan kami dan teman teman beda dengan umumnya anak SMA, yang jadi temat nongkrong kami adalah musala sekolah, udaranya yang sejuk bisa merefresh otak. Pernah suatu hari selepas ujian smester kami mengerjakan tugas di mushala, sudah jadi kebasaan kami menjadi anak yang malesnya minta ampun (yang untungnya setelah aku kuliah kebiasaan satu ini hilang tuntas), ada tugas bahasa inggris untuk membauat discussion text, sudah lebih dari 2 bulan tugas ini nuggak namun belum juga aku kerjakan, berhubung evan adalah jagonya bahasa inggris maka dengan sangat terpaksa aku meminta tolong padanya untuk menerjemahkan ke bahasa inggris.
“van, aku masih punya utang kamu nih” ujarku pelan
“apa lin?” tanyanya tanpa mengalihkan konsentrasi dari tugas
“ngejitak kamu” kataku tanpa salah dan langsug menjitak evan
“lin , ya ampun..” ujarnya terkejut
“lin, kamu tau nggak kepala ini fitrah, suci. Kok kamu jitak sih, ini fitrah tau” kata evan tak senang, tampang cemberutnya justru membuatku tak bisa menahan tawa.
Pasti dia amat sangat jengkel padaku, tapi entah mengapa kau sanagt senang membuat dia marah, mungkin karena ketika dia marah dia akan tampak lebih cold, jadi aku lebih bisa menerimanya. Walau tak bisa di elak, muncul sebersit rasa bersalah melihat evan seperti itu.
Sebagai teman, memang tingkahku tak pantas di contoh. Seharusya kau bisa menerima orang lain apa dadanya, sebenarnya untuk teman teman yang lain aku bisa menerima mereka sesuai dengan karakter yang mereka sajikan, namun evan, entahlah, aku sangat tertarik untuk bisa merubah evan mejadi orang yang aku harapkan, yaitu oang yang lebih serius dan menghargai banyak hal bukan cuma sebagai basa basi, namun dari hati. Karena aku sering merasa bahwa ketika dia memuji, dia cuma sekedar memuji, bukan dari hati namun sekedar sebagai gincu, hanya sebagai pemanis bibir, cuma bagian dari kesempurnaan sifat ramahnya, itulah yang membuat aku tidak tertarik pada keramahannya.
Sering pula aku merasa teramat asing dengan sosoknya, padahal aku telah mengenalnya dua tahun itu, bangku kamipun tak terlalu jauh, jadi aku sering berinteraksi dengannya, namun entah mengapa, aku merasa ada yang aneh padanya, seerti caranya memperhatikan orang, mungkin karena dia terlalu sering jadi pusat perhatian maka  dia lupa cara memandang seseorang dari hati. Memang dia melihat A, namun telinganya mendengarkan B dan otaknya memfikirkan C. mungkin orang lain bisa menerima, tapi aku tidak bisa. Aku mau dia jadi orang yang memberikan matanya, telinganya dan hatinya pada satu orang, sebagai keramahan yang sesungguhnya. Mungkin bagi orang lain apa yang ia sajikan sudah merupakan sebuah perhatian penuh, namun aku merasa dia tidak benar benar memperhatikan sehingga dia cuma bisa menanggapi suatu kalimat dengan ‘oo’ atau ‘benarkah?’. Terlihat memperhatikan, namun sebenarnya tak tau apa yang terjadi, hebat.
Terlepas dari kenyataan itu, aku memang tersihir olehnya, evan sosok yang hebat. Aku belajar banyak darinya. Belajar bagaimana cara mengenang suatu memori, cara menghargai dan banyak hal yang aku tak tau namun aku lakukan. Denang segala yang ia punya, evan telah membuat aku menjadi seseorang yang baru, yang bisa menjadi sedikit madu dari hidupku yang bergeronjal, alau kadang memang sih, evan menambah dalamnya geronjalan itu.
Evan, mengertilah, aku berharap kamu tau. Mungkin untukmu aku tak ada artinya, mungkin aku cuma bayang bayang yang tak berguna, aku hanya angin yang akan hilang dan mudah dilupakan seiring waktu.
Mungkin aku memang tak tahu seberapa berartinya kamu untukku, secara logika mungkin aku akan bilang kamu tak banyak berarti untukku, mungkin dalam kata aku akan bilang kamu pergi saja, namun kenyataannya, kamu telah  jadi semacam candu untukku, tak peduli apa yang bisa kamu lakukan untukku, nyatanya tanpamu, tak ada yang pantas untuk di ingat. Nyatanya tanpamu, cerita yang telah ku lalui tak akan terbentuk. Karena entah kamu sekedar jadi figuran atau jadi pemain utama, kamu telah mengisi waktuku.
Van, termakasih ya. Atas semua yang telah kamu berikan untukku. Untuk semua kenangan yang telah kau ukir, unuk semua yang telah kamu sumbangkan padaku. Aku memang tak pernah bisa bilang padamu tentang segalanya, namun ku harap ini akan bisa memberimu sedikit jalan untuk tahu.
Evan, Aku merindukanmu
Aku tak tau bagaimana kamu sekarang, apakah kau jadi star sekarang? Pasti kamu jadi star, yang semakin terang, bukannya dari dulu kamu memang bigitu terkenal ya. Aku tak tau kamu yang sekarang, namun aku akan selalu mengenalmu, sebagai evan yang selalu aku rindukan, sebagai evan yang tak melupakanku walau kita tak bersama lagi.
Love you van.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar