Aku harus
meninggalkan cahaya
Berlari
menjauh dari pisau pisau bedah
Menghindari
sorot lampu mahaterang
Sebelum kau
menyayat hatiku sebagai kelinci percobaan
Sebelum kau
koyak aku dalam geram
Sebuah hari minggu yang
benderang, di unjung jalanan desa missac .
Matahari masih menyinari
angkasa dengan angkuhnya, padahal bulan desember telah datang, aku terus berjalan cepat, mengapa rumahku
masih beitu jauh sih. . , rasanya kaki ini telah remuk menelanjangi pelataran
jalan. Aku berjalan menununduk, terpaan cahaya matahari membuat mataku silau,
parahnya aku terlalu sensitive cahaya, satu satunya cara cuma menyipitkkan
mata.
Beban berat di punggungku
semakin terasa, tasku yang berisi penuh tumpukan buku pelajaran
pergemerisik menggesek jaket yang
kukenakan. Tas tanganku yang berisi oleh oleh khas Jogjakarta ku ombang
ambingkan untuk menyeimbangkan berat tas punggung. Ah, tak apalah, sebentar
lagikan aku sampai rumah, rasanya rindu sekali pada ayah dan ibu.
Telah satu semester aku
meninggalkan rumah untuk menempuh pendidikan tinggi, selama itu pula aku tak
menjejakkan kaki di tanah kelairanku ini, tanah yang membawaku menjadi seorang
gadis yang siap bertarung menghadapi kerasnya dunia. Tanah yang mengajari aku
banyak hal tentang memahami makna hidup.
HP di saku bergetar,
setelah sedikit kesulitan akhirnya hp dapat ku ambil juga. Pesan dari evan. Ku
buka pesan.
Appa kabar :D
Aku terseyum kecil
Setelah kutimbang timbang
akhirnya kuputuskan untuk tidak membalas smsnya. Membalas sms dengan bawaan
sebanyak ini sangat merepotkan.
Ah, akhirnya sampai rumah
juga.
“Assalamualaikum” ucapku
setengah berteriak
“Walaikumsalam, ya Alloh
nak. Sampai rumah juga” ujar ibu sambil memelukku.
Rasanya rindu sekali pada
pelukan ibu
Setelah beramah tamah aku
masuk ke kamar. Kamar ini telah aku tingalkan satu semester. tak banyak yang
berubah disana, letak buku buku juga tak banyak berubah. Namun kamarku tak
terlapisi debu, pasti ibu selalu membersihkan kamar. Ku hempaskan tubuh ini ke
tempat tidur, ah rasanya nyaman sekali, perjalanan 6 jam dari Jogjakarta benar
benar membuat tulang tulangku serasa remuk. Ku alihkan pandanganku ke meja
belajar. Buku buku dan barang barangku ketika SMA masih berjajar disana,
kebanyakan novel novel teenlit yang sering ku beli dulu. Dan, oh gambar itu, sebuah
gambar berpigora kayu yang mulai pudar warnanya.
Ku raih gambar itu,
setelah kulepas pigora akhrinya aku dapat menemukan tulisan tulisan di
belakangnya
Untuk, temanku, yang
akan melupakan aku. Semoga kertas ini bisa membantu otakmu untuk mengingat aku
ya. Plis, jangan pikun terus dong. Masa aku juga mau kamu lupain sih?
:D
Gambar ini dari evan, aku terima ketika kami kelulusan SMA
dulu, sudah jadi kebiasaan sekolah kami untuk bertukar kado ketika kelulusan,
sebenarnya ini untuk menggantikan budaya mencoret coret baju ketika kelulusan
sih, tapi mungkin memang ini akan lebih berarti.
Aku teringat SMS dari Evan yang belum ku balas, setelah
sedikit menggeledah tas, aku menemukannya juga.
Kurang baik nih. Kak,
kangeen banget nih
:P
Anganku melayang mengingat masa masa SMA dulu. Masa yang
mengenalkan aku pada mahluk yang alay berat ini. Sebenarnya dia cukup dewasa,
namun dia akan mendadak konyol ketika di sekolah. Mungkin kalau tidak ada
kekonyolanya masa SMAku akan garing. Ah dasar evan. Nyebelin, tapi ngangenin.
LOL.
Aku mengenal evan ketika masuk SMA kelas dua. Bukan karena
apa, Cuma karena kami sekelas. Awalnya memang tak ada dari diri evan yang
istimewa untukku, posisinya sebagai anak kesayangan para guru dan statusnya
sebagai siswa aktif membuatku semakin malas berteman dengannya. Ey, bukan malas
sih, mungkin lebih sebagai sulit. Aku lebih menyukai orang yang pendiam dari
pada anak yang ramah seperti evan, karena menurutku seorang yang ramah justru
penipu, kebanyakan keramahan cuma basa basi. Sedang aku bukan orang yang
tertarik denagn bsa basi. Jahat ya aku.
Namun seiring waktu berlalu aku jadi lebih lunak untuk
mengenal evan. Untunglah bayanganku tak sepenuhnya terbukti, walau kebanyakan
apa yang aku perkirakan benar adanya, apa boleh buat, dia sekelas denganku,
masak aku mau jaga jarak sih?. Memasuki semester dua aku mulai dekat dengan
evan, dan hingga kelulusan kami masih lumayan akrab. Tak cuma hingga lulusan,
namun hingga aku kuliah inipun, kami masih sesekali berkomunikasi.
HPku bergetar lagi, ada sms masuk. Balasan dari evan
Aku jg nih, kapan
pulang?
:D
Ku letakkan hp, ah evan. Aku kangen banget
sama kamu, andai kamu ada di sini pingin
deh ngejitak kamu, aku teringat dulu, kebiasaan kami ketika masih di kelas tiga,
tempat tongkrongan kami dan teman teman beda dengan umumnya anak SMA, yang jadi
temat nongkrong kami adalah musala sekolah, udaranya yang sejuk bisa merefresh
otak. Pernah suatu hari selepas ujian smester kami mengerjakan tugas di
mushala, sudah jadi kebasaan kami menjadi anak yang malesnya minta ampun (yang
untungnya setelah aku kuliah kebiasaan satu ini hilang tuntas), ada tugas
bahasa inggris untuk membauat discussion text, sudah lebih dari 2 bulan tugas
ini nuggak namun belum juga aku kerjakan, berhubung evan adalah jagonya bahasa
inggris maka dengan sangat terpaksa aku meminta tolong padanya untuk
menerjemahkan ke bahasa inggris.
“van, aku masih punya utang kamu nih” ujarku
pelan
“apa lin?” tanyanya tanpa mengalihkan
konsentrasi dari tugas
“ngejitak kamu” kataku tanpa salah dan
langsug menjitak evan
“lin , ya ampun..” ujarnya terkejut
“lin, kamu tau nggak kepala ini fitrah, suci.
Kok kamu jitak sih, ini fitrah tau” kata evan tak senang, tampang cemberutnya
justru membuatku tak bisa menahan tawa.
Pasti dia amat sangat jengkel padaku, tapi
entah mengapa kau sanagt senang membuat dia marah, mungkin karena ketika dia
marah dia akan tampak lebih cold, jadi aku lebih bisa menerimanya. Walau tak
bisa di elak, muncul sebersit rasa bersalah melihat evan seperti itu.
Sebagai teman, memang tingkahku tak pantas di
contoh. Seharusya kau bisa menerima orang lain apa dadanya, sebenarnya untuk
teman teman yang lain aku bisa menerima mereka sesuai dengan karakter yang
mereka sajikan, namun evan, entahlah, aku sangat tertarik untuk bisa merubah
evan mejadi orang yang aku harapkan, yaitu oang yang lebih serius dan
menghargai banyak hal bukan cuma sebagai basa basi, namun dari hati. Karena aku
sering merasa bahwa ketika dia memuji, dia cuma sekedar memuji, bukan dari hati
namun sekedar sebagai gincu, hanya sebagai pemanis bibir, cuma bagian dari
kesempurnaan sifat ramahnya, itulah yang membuat aku tidak tertarik pada
keramahannya.
Sering pula aku merasa teramat asing dengan
sosoknya, padahal aku telah mengenalnya dua tahun itu, bangku kamipun tak terlalu
jauh, jadi aku sering berinteraksi dengannya, namun entah mengapa, aku merasa
ada yang aneh padanya, seerti caranya memperhatikan orang, mungkin karena dia
terlalu sering jadi pusat perhatian maka dia lupa cara memandang seseorang dari hati.
Memang dia melihat A, namun telinganya mendengarkan B dan otaknya memfikirkan
C. mungkin orang lain bisa menerima, tapi aku tidak bisa. Aku mau dia jadi
orang yang memberikan matanya, telinganya dan hatinya pada satu orang, sebagai
keramahan yang sesungguhnya. Mungkin bagi orang lain apa yang ia sajikan sudah
merupakan sebuah perhatian penuh, namun aku merasa dia tidak benar benar
memperhatikan sehingga dia cuma bisa menanggapi suatu kalimat dengan ‘oo’ atau
‘benarkah?’. Terlihat memperhatikan, namun sebenarnya tak tau apa yang terjadi,
hebat.
Terlepas dari kenyataan itu, aku memang
tersihir olehnya, evan sosok yang hebat. Aku belajar banyak darinya. Belajar
bagaimana cara mengenang suatu memori, cara menghargai dan banyak hal yang aku tak
tau namun aku lakukan. Denang segala yang ia punya, evan telah membuat aku
menjadi seseorang yang baru, yang bisa menjadi sedikit madu dari hidupku yang
bergeronjal, alau kadang memang sih, evan menambah dalamnya geronjalan itu.
Evan, mengertilah, aku berharap kamu tau.
Mungkin untukmu aku tak ada artinya, mungkin aku cuma bayang bayang yang tak
berguna, aku hanya angin yang akan hilang dan mudah dilupakan seiring waktu.
Mungkin aku memang tak tahu seberapa
berartinya kamu untukku, secara logika mungkin aku akan bilang kamu tak banyak
berarti untukku, mungkin dalam kata aku akan bilang kamu pergi saja, namun
kenyataannya, kamu telah jadi semacam
candu untukku, tak peduli apa yang bisa kamu lakukan untukku, nyatanya tanpamu,
tak ada yang pantas untuk di ingat. Nyatanya tanpamu, cerita yang telah ku lalui
tak akan terbentuk. Karena entah kamu sekedar jadi figuran atau jadi pemain
utama, kamu telah mengisi waktuku.
Van, termakasih ya. Atas semua yang telah
kamu berikan untukku. Untuk semua kenangan yang telah kau ukir, unuk semua yang
telah kamu sumbangkan padaku. Aku memang tak pernah bisa bilang padamu tentang
segalanya, namun ku harap ini akan bisa memberimu sedikit jalan untuk tahu.
Evan, Aku merindukanmu
Aku tak tau bagaimana kamu sekarang, apakah
kau jadi star sekarang? Pasti kamu jadi star, yang semakin terang, bukannya
dari dulu kamu memang bigitu terkenal ya. Aku tak tau kamu yang sekarang, namun
aku akan selalu mengenalmu, sebagai evan yang selalu aku rindukan, sebagai evan
yang tak melupakanku walau kita tak bersama lagi.
Love you van.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar