Hari pertama uas
akhirnya datag juga
Rasanya gugup dan dag dig
duar, tapi apa boleh buat, waktu pasti berlalu juga kan, dan di minta tak
diminta masa ujian pasti tiba, jadi lebih baik aku memulai hari ini dengan rasa
percaya diri, sekedar motivasi sih, pokoknya aku harus bisa.
Kebetulan pagi ini aku
diantar kakak, jadi jika mood ku udah 100% jadi melonjak ke range 102%,
semangat banget dong? Ya iyaah. . he
he. Berhubung semangatku lagi amat
sangat baik sekali, aku bisa memulai waktu dengan senyum (yang jelas, kayaknya
jarang banget aku senyum ginian). Aku masuk gerbang dengan jejakan kuat. Hay
skul, I ready for you.
Dan, oh tuhan
Dia lewat ke araku, ya
ampun, Bagas, pagi ini manis banget sih.
“Hey, ayo ikut aku beli
pensil” ujar Bagas (padahal gak pernah dia ngajak aku sebelumnya)
“Ah, aku punya beberapa
nih udahan” jawabku. Bodohnya, seharusnya aku bilang ‘iya’
“Punya berapa?” tanya Bagas
“Tiga” jawabku pendek
tanpa salah, seakan tak terjadi apa apa. Aduh, kenapa aku jaim banget. padahal kesempatan
nih
“Pinjem satu dong,
pensilku dibawa Fathir” kata Bagas mendekat padaku
Akhirnya aku buka tas,
em pensil mana ya, ini aja deh. Ku keluarkan pensil 2B dan ku berikan pada Bagas,
sekilas kulihat pensil itu. Udah tumpul
“Butuh rautan apa
nggak?” tanyaku lagi.
Bagas terlihat
mengamati pensil itu
“Eh, iya deh” jawabnya
Ku cari rautan, mana sih.
Oh ini dia. Kukeluarkan rautan dan kuberikan padanya setelah menerima rautan dariku
dia mulai meraut pensil tanpa berkata apapun
Seperti biasa tingkahnya
dingin, teramat dingin, sebenarnya aku tak banyak tahu tentang bagas walau sama
sama kelas tiga dan kelas kami bersebelahan bukan berarti aku kenal baik
dengannya, cerita tentang bagas cuma ku dengar dari teman teman yang sering
arisan cowok. dan sepertinya Bagas termasuk dalam daftar kandidat mereka.
Satu satunya jalan
untukku berinteraksi dengan bagas adalah jam bahasa Indonesia. Kebetulan kami
memiliki jam yang sama. oh iya, sekolahku adalah SSI. Jadi system kami seperti
perkuliahan, temanku sekelas berubah terus sesuai dengan pelajaran yang kami
terima, dan karena jadwal sift seperti itu akhirnya aku bertemu Bagas. Walau
dalam waktu 2x 45 menit itu belum tentu aku bisa bertegur sapa dengan nya,
namun cukuplah untuk mengobati kangenku.
Bagas mengibaskan
rautan dan mengembalikannya padaku, aku segera pergi. Kudengar dia mengucapkan
terima kasih, namun aku tak sanggup bilang sama sama, hatiku sudah meloncat
loncat minta keluar, kalau tak cepat pergi, aku takut jantungku copot beneran.
Kenapa ya, kalau di
depan bagas aku selalu jaim begitu, padahal kan sebenarnya aku ingin sekali
berbincang dengannya, apa memang ketika berhadapan dengan orang yang dikagumi
seseorang akan mendadak lain seperti itu?, tau kah kau jawabnya?.
Aku meninggalkan pos
satpam dan berlari menapaki balok balok beton ditaman, sekali kali kulihat
kebelakang. Bagas mana ya, sebenarnya aku berharap dia memanggilku dan kekelas
bersamaku namun justru sebalikknya, Bagas malah menghilang.
Di koridor depan ruang guru
aku bertemu Meta, ah sial banget padahal aku masih kepingin mencari Bagas
“Vin, kok cepat cepat
sih?” tegur Meta
“Ah nggak juga”
jawabku, terpaksa aku mensejajari langkahnya
Mataku masih tetap
meloncat loncat kesana kemari mencari bagas, oh itu dia. Bagas berjalan dengan
gaya yang cool ke arahku rasanya kaki ini cekot cekot, oh tolong, jangan
pingsan mendadak dong, alay banget.
Dengan penuh harap aku mengamati
Bagas, bukannya mendekat, ia justru berbelok ke parkiran. hancur sudah angan
angan ku. Kaca mimpi yang ku ukir mendadak ambrol. Padahal aku terlanjur
membayangkan bagas akan berlari kearahku dan berjalan menjajariku dan menyapa,
atau kalau bisa berbincang bincang, tapi nyatanya…
Akhirnya dengan lunglai
aku masuk ke kelas, pagi ini sebenarnya kami akan menempuh UAS dan sepertinya Bagas
membatku sedikit lebih semangat. Beberapa kali fikiranku melayang pada saat
pertama kali aku bertemu dengan Bagas.
Aku melihatnya pertama
kali ketika kelas sepuluh semester dua, saat itu aku kebetulan ada jam kosong,
seperti biasa aku dan beberapa teman memilih ke mushala. kebetulan saat itu Bagas
dan teman temanya juga ke mushala. Walaupun cuma bisa melihat tanpa mengenal
dia. Pertemuan pertama itu tak pernah terlupakan.
Bahkan hingga kelas
tiga semester satu ini, walau aku cuma bisa bilang “hay” padanya, ah andai aku
bisa berbincang lebih lama dengan Bagas.
--------------
UAS selesai juga,
raport akan di bagikan esok hari. Aku cuma termenung di bangkuku.
Dua hari lagi aku akan
libur sekolah, cukup lama. Kami akan libur dua minggu padahal sekarang masih
semester satu ,biasanya semester satu kami hanya libur satu minggu. Bukannya
senang libur panjang, aku justru merasa sedih, empat bulan lagi kami akan
lulus, itu artinya aku tak bisa bertemu lagi dengan Bagas, waktu detik detik
terakhir justru di isi dengan liburan pula, padahal di sekolah sebulan aku
hanya bisa bertemu dengannya empat kali. Di waktu terakhir. Dan aku tak bisa
bertemu lagi.
Tak terasa setetes air
mata membasahi pipiku. Kenapa aku merasa sesedih ini, inikan bukan pertemuan
terakhirku dengan Bagas, lagi pula aku cuma pengagumnya. Bagas sama sekali tak
tau, lalu buat apa aku sedih begini.
Namun apa daya, hatiku tak bisa berbohong,
“vin, kok sendirian?”
seseorang menepuk bahuku pelan
Reflek aku menoleh.
“Bagas?” ujarku kaget,
bagas nyamperin aku?. Hallow aku mimpi ya?
“oh, aku ngagetin ya?,
maaf ya” ujar bagas lagi. Bagas duduk di hadapanku
“em, ada apa?” tanyaku
”oh iya” ujarnya
sembari mebuka tas dan mengeluarkan kotak pensil. Bagas mengambil pensilku dan
menyerahkannya padaku. “ini, makasih ya”
“em, sama sama” aku
masukkan pensil kedalam tas. “gimana ujiannya?” tanyaku basa basi
“lumayan sih” jawabnya
datar
Begitulah bagas, andai
aku tanyakan sesuatu padanya sepanjang tujuh foliopun paling dia hanya akan
menjawab dua kata saja, namun kenyataan itu tak bisa membuatku menjauh darinya, aku justru ingin mendekat
padanya.
“ ya sudah makasih
pensilnya” ujar bagas sambil berdiri meninggalkanku.
Ekor mataku mengikuti
laju Bagas. Tiba tiba bagas berhenti dan berbalik.
“aku lupa, seminggu
lagi tahun baru ya, em. Happy new year” ujarnya. Lalu bagas mereogoh sesuatu di
tasnya.
“buat kamu” kata bagas
dan memberikannya padaku.
“apa ini?” tayaku tak
mengerti, sebuah surat yang digulung.
“baca aja” ujarnya
datar lalu pergi.
Jantungku dag dig duar,
apa ya isinya? Special Letter from bagas. Ku bolak balik surat pemberian bagas.
Pelan pelan ku buka gulungan itu. ‘hay,
thanks buat pensilnya. Ku harap liburan kamu menyenangkan.’. selepas
membaca tulisan itu aku cuma terdiam, isiya simple, biasa banget tapi bisa
membuat hatiku kena serosis mendadak. Awas, jantungku mau meledak. Tim SAR mana
siih..
tak seperti tujuh menit
yang lalu, aku terdiam karena aku bingung bagaimana aku harus mengungkapkan
rasa senang di hati, aku senang banget.. tak ku sangka semua ini akan terjadi
hanya dalam tujuh menit, semua berubah. Thanks god
Berkal kali ku baca gulungan kecil itu,
berkali kali pula aku tersenyum karenanya. Ah, siapa yang tahu soaal jalannya
alur kehidupan. Dan sepertinya Alloh berpihak padaku hari ini.
ngomong ngomong bisa
nggak ya, selepas liburan aku dekat dengan Bagas, gak cuma jadi pengagum
rahasianya tapi jadiii….. ah, cukup deh hayalanku. Tapi emang ada indikasi kalo
aku bakal deket sama bagas nih. cihuy
aku tunggu cerpen mu selnjutnya
BalasHapus